Tuesday, February 12, 2008

ADAKAH UJUNG JALAN KEHIDUPAN?

Dua orang Katolik berdebat seru di sebelah saya. Pokok masalahnya adalah Reinkarnasi! Yang satu (+) bersikukuh bahwa reinkarnasi itu memang ada. Bukti yang disodorkannya tak tanggung-tanggung : Jesus sendiri menitis jadi manusia, maka itu ya namanya inkarnasi, titik! Yang satu lagi (-) bilang, bahwa peristiwa itu terjadi karena Dia Tuhan sendiri yang bisa menjelma menjadi apa saja. Ajaran agama kita tegas-tegas bilang, bahwa setelah mati ya hanya ada Surga atau Neraka, titik! Perdebatan makin ramai lagi:
(+) :“Lho, masak orang demikian banyaknya cuma dikasih 2 tempat: Neraka atau Surga? Terus kalau orangnya setengah-setengah mau ditaruh mana?”
(-) :“Ya masuk tempat penantianlah.”
(+) :“Lha itu artinya ada 3 tempat, bukan 2! Terus tempat penantian itu bagaimana wujudnya?”
(-) :“Ya semacam penantian sambil belajar, seperti dunia kita ini, tapi tanpa badan kasar.”
(+) :“Lhah, teori dari mana itu?, kok saya yang sama-sama Katolik tak pernah diajar begitu! Sampeyan (anda) ngarang barangkali! Lha apa salahnya juga kalau sebagian yang sedang dalam penantian itu dikirim balik lagi ke dunia dengan badan yang baru, yang lebih sesuai dengan tabiatnya sewaktu masih hidup di dunia: Para koruptor yang masih bisa diampuni dijadiin tikus; orang rada serakah jadi babi; yang rada baikan tapi pernah kepleset dan jatuh dalam dosa dijadikan orang lagi sambil naik pangkat dan rejekinya serta diberi tempat yang lebih memungkinkan dia untuk belajar lagi dengan baik?”
(-) : “Wah..,wah.., itu lebih ngaco lagi!, bertentangan total dengan Eksistensi Tuhan yang Kasih adanya: masak orang dijadiin tikus, babi, kadal, dan segala macam binatang? Mereka ya di dunia penantian itu saja, ga usah kemana-mana, belajar terus sampai lulus, mengalami suka duka juga.”
(+) : “Wah.., sampeyan benar-benar mencurigakan, jangan-jangan anda memang pernah tinggal di tempat penantian itu dan sekarang mengalami reinkarnasi sehingga mengerti sekali urusan dunia sana, dan saya jadi semakin yakin kalau reinkarnasi itu memang ada.”
(-) : “Pusing ah, pokoknya yang namanya reinkarnasi itu ga ada, titik.”
Perdebatan buntu. Tiba-tiba yang setuju dengan reinkarnasi menoleh ke saya sambil bertanya:
(+) : “Kalau anda bagaimana, Mas?” Karena ditanya, maka saya jawab.
Saya: “Saya ini orangnya “enjoy aja”. Artinya begini: Kalau seseorang itu merasa dirinya dahulu kala adalah seekor monyet seperti yang ada dalam teori evolusi (Darwinisme); kemudian dia saat ini bersyukur sekali sudah bisa “chatting” dan “surfing” via internet dengan lap-top canggih di café-café; dan dengan kesadaran penuh sekarang dia berusaha mati-matian berbuat segala hal yang baik agar kelak setelah mati bisa diangkat menjadi Dewa, maka itu artinya faham reinkarnasi baik adanya buat orang itu.”
(+) : “Nah, itu artinya Mas setuju dengan reinkarnasi.”
Saya: “Bukan begitu maksud saya.”
(+) : “Lho, Mas ini kok malah plintat-plintut, sih?”
Saya: “Nggak juga. Saya hanya tidak ingin jadi orang yang “sok tahu”, karena memang saya ini tidak tahu dulunya saya ini siapa? Juga sebenarnya saya ini tidak tahu: dibalik kematian itu dunianya macam apa? Saya percaya pada satu hal yang saya yakini benar, bahwa Tuhan itu sangat ingin kita semua dapat maju terus-menerus secara rohaniah agar suatu saat bisa mencapai KerajaanNya. Untuk itu Dia memberikan bermacam-macam materi pendidikan buat kita. Faham reinkarnasi itu hanya salah satu dari materi pendidikan yang ada. Yang lain jumlahnya tak terhitung dan setiap orang mengalami pendidikan yang tidak pernah sama persis setiap detiknya. Bagi saya, tidak perlulah kita memperdebatkan materi-materi pendidikan itu. Ada kalanya orang tua kita terpaksa mengatakan sesuatu secara gampangan pada anaknya yang belum bisa diberi penjelasan panjang-lebar, agar dia tidak melakukan ini dan itu, dengan tujuan untuk menghindarkan anak itu dari celaka. Tapi cara apapun yang diberikan orang tua kepada anaknya pastilah dengan tujuan yang baik. Demikian pula Tuhan terhadap kita. Yang diharapkan Tuhan adalah pengertian kita yang terus-menerus tumbuh akan niat baikNya dan mengharapkan kesungguhan kita untuk menanggapiNya.”
Ajaib! Kedua orang di sebelah saya jadi diam cukup lama. Saya jadi merasa bersalah telah kebablasan mengeluarkan kata-kata “sok tahu”, mungkin keduanya tidak menyukai kata-kata itu.
Saya: “Mohon ma’af kalau ada kata-kata saya yang kurang berkenan.”
(+) : “Oh.., tak apa-apa; saya hanya masih bingung kalau merenungkan semua ini: Surga, Neraka, ditambah tadi ada Tempat Penantian dan kenyataan sekarang saya tinggal di Dunia seperti ini. Sampai kapankah semua ini akan sampai ke ujungnya?”
Saya: “Hah..?, ujungnya?”
(-) : “Ujungnya ya Surga dan Neraka itu!”
(+) : “Saya tak menyukai konsep Surga dan Neraka. Kan kamu sendiri yang ngomong kalau Tuhan itu Maha Pengasih. Masak Yang Maha Pengasih menciptakan tempat hukuman sekejam itu, sedangkan saya yang bukan Maha Pengasih saja tidak mau disuruh nyiksa orang sampai seperti itu! Katanya ga bakalan balas dendam, lha Neraka seperti itu artinya apa kalau bukan balas dendam?! Hari gini kok pake ancam-ancaman, kuno ah…! Lebih mending saya percaya faham Reinkarnasi daripada percaya cerita tentang Neraka!”
(-) : “Hush..!, kuwalat kamu nanti! Bisa-bisa digolongkan aliran sesat yang lagi ramai diperbincangkan!”
(+) :“Kan saya cuma ngomong apa adanya. Banyak orang ngomong lebih gila di luar sana! Pikir saja pakai nalar, apa yang salah dengan omongan saya?”
Saya: “Oklah kamu ga mau Neraka; kalau Surga mau? Dia diam sebentar sebelum menjawab.
(+) : “Rasanya tidak jujur kalau saya bilang tidak mau Surga. Saya mau.”
Saya: “Alhamdulillah! Tadinya saya sudah kawatir bahwa anda punya nalar hebat tapi tak punya hati, syukurlah tidak demikian. Sekarang saya mau tanya lagi: Apakah menurut anggapanmu Surga itu ujung jalan yang kamu cari?” Dia benar-benar bingung sekarang.
(+) : “Saya tak tahu; saya hanya merasa membutuhkan sebuah tempat pemberhentian yang penuh kedamaian.”
Saya: “Dan andaikata suatu saat kau temukan tempat itu, apakah kau akan tinggal untuk seterusnya disitu dan tidak pergi kemana-mana lagi?” Dia diam saja, mungkin membayangkan tempat yang diimpikannya sambil memikirkan pertanyaan saya.
Saya: “Baiklah saya bantu dengan pengalaman saya. Suatu hari, jauh dari negara ini, saya berada di suatu tempat yang luar biasa indahnya bersama seorang anak saya. Sebuah hamparan pantai yang sangat indah, dikelilingi gunung-gunung yang juga indah; bahkan batu-batu besar di tepi pantai yang saya dudukipun luar biasa indahnya karena abrasi yang telah berlangsung ratusan tahun, jauh lebih indah dari deretan suiseki(seni batu)nya orang Jepang. Pohon-pohon raksasa di sekitar saya yang berumur ratusan tahun, juga jauh lebih indah dari bonsai(seni pohon kerdil)nya orang Jepang. Karya semua seniman tak akan bisa mengalahkan keindahan ini, semuanya kalah wibawa. Semua itu masih ditambah berbagai jenis burung berbulu warna-warni datang menghampiri kami, dan sungguh kami menyesal tidak membawa makanan untuk burung-burung itu karena tidak tahu akan seperti ini, sehingga kue-kue yang kami bawa kami remukkan dan kami berikan ke burung-burung itu yang semakin banyak datang menghampiri kami, turun dari atas-atas pohon. Semua kue kami habis, dan kami tertawa gembira! Cuaca demikian baiknya, matahari terasa tak menyengat dan suhu udara sekitar 17 derajat Celcius, cukup dingin. Yang lebih luar biasa lagi, bahwa tempat seindah dan seluas itu hanya kami berdua saja yang menikmatinya, sama sekali tak ada orang lain. Tempat itu dan suasananya sangat mewakili gambaran banyak orang tentang Surga. ‘Terima Kasih, Tuhan.., Kau hantarkan kami ke tempat ini. Sepertinya Kau sengaja melayani kami yang tak pernah punya rencana kemari.’ Dan kebahagiaan saya semakin bertambah setelah mengucapkan kata-kata itu dalam hati, menyadari bahwa Tuhan sangat mencintai kami. Tetapi setelah dua jam menikmati semuanya, saya begitu rindu kepada keluarga yang lain yang kebetulan tidak bersama kami; saya juga rindu semua teman-teman saya dimana kami biasa berkumpul ramai-ramai. Perlahan-lahan Surga itu menjadi hampa tanpa kehadiran semua orang-orang yang kita cintai, dan terbersit perasaan di hati saya, alangkah berbahagianya jika saya bisa mencintai sebanyak-banyaknya orang dan merindukan mereka semuanya bisa bersama saya berada di samping Tuhan.” Saya menyudahi cerita saya yang memang sungguh-sungguh terjadi.
(+) : “Saya terinspirasi oleh gambaran pengalaman anda, dan sayapun merasa pasti sekarang, bahwa saya tidak mungkin juga akan tinggal diam sendirian selamanya di tempat yang saya dambakan itu. Saya akan kesepian.”
Saya: “Ya, kenyataannya akan jadi seperti itu bila anda mencari ujung jalan. Jangan pernah berpikir lagi mencari ujung jalan, karena ketika sampai di sana, anda hanya menemui kematian yang sesungguhnya karena semuanya berhenti hanya sampai disitu: buntu, tak ada yang harus anda jalani lagi. Surga adalah sesuatu yang hidup, bukan tempat mati seperti gambaran banyak orang. Dan Neraka itu sendiri memang tidak berada di luar sana, tetapi menyatu dalam hatimu, ia menyatu dalam dosa-dosamu! Sebenarnya semua orang sudah pernah mampir ke sana.”
(-) : “Wah.., gawat, benar-benar gawat, kalian benar-benar bisa dicap berpikiran sesat!, ini sudah banyak menyimpang!”
(+) : “Teruskanlah, aku ingin mendengar analisamu.”
Saya: “Kalau anda baca kitab Apokrif (kitab di luar kitab suci Kanonik yang jadi pegangan gereja Katolik sekarang), anda akan lebih merinding lagi gambaran tentang Neraka itu, jauh lebih serem dari film horor! Tapi biarpun tidak usah melihat sendiri, saya berani jamin bahwa semua itu cuma illusi penulisnya! Gereja resmipun akhirnya menyingkirkan tulisan-tulisan semacam itu. Dan suatu saat ketika umat beragama ini lebih dewasa pengertiannya, maka gambaran Surga dan Neraka seperti yang selama ini ada akan mengalami pergeseran juga. Bukan berarti yang lalu salah, tetapi saya mengatakan di depan tadi, bahwa ‘orang tua suka memberi gambaran yang gampang-gampang kepada anaknya agar tidak melakukan ini dan itu agar anaknya yang belum mengerti apa-apa itu jangan sampai celaka’, tetapi ketika anaknya itu sudah dewasa, maka gambaran semacam itu tidak dibutuhkan lagi. Jadi baiklah saya teruskan lagi tentang Neraka yang sebenarnya sudah pernah dialami oleh semua orang itu. Ketika kamu melakukan perbuatan dosa cukup besar kepada seseorang, apalagi seseorang yang kamu cintai, maka yang ada dalam hatimu pastilah penyesalan yang luar biasa juga. Penyesalan itu membuatmu menderita, apalagi kalau bertumpuk-tumpuk. Tetapi seringkali keangkuhan seseorang berhasil menyembunyikan semua penyesalannya dan lama-lama tidak merasa menyesal lagi ketika melakukan perbuatan dosa karena bisa disembunyikan, maka dengan gampang saja perbuatan itu diulang terus. Tetapi ketika tubuh sudah sakit-sakitan, maka bayangan penyesalan itu pasti muncul lagi. Dan ketika tubuh sudah benar-benar lenyap dalam kematian raga, tinggal jiwa yang telanjang, maka gambaran penyesalan itu sudah tak memiliki tempat lagi untuk bersembunyi, sehingga hal itu menimbulkan penderitaan. Itulah Neraka!, dan itu sesungguhnya adalah asli perbuatanmu sendiri, bukan pembalasan dari Tuhan. Apa yang terjadi selanjutnya saya tak tahu karena belum pernah mati! Mungkin yang paling akan kamu sesali adalah ketika kamu melihat sendiri dirimu yang telanjang dan mendapati kenyataan yang lain sama sekali dari gambaranmu sendiri tentang dirimu sendiri, bahwa ternyata betapa seringnya kamu menyakiti Tuhan yang begitu mencintaimu, apalagi ketika kamu tahu bahwa hal itu telah kamu lakukan secara sadar dan sekarang kamu tak bisa bersembunyi lagi. Jadi kalau boleh saya sarankan, marilah kita sama-sama belajar hidup “telanjang”, berusaha jangan menyembunyikan dosa dari mata kita sendiri dan mohon ampunanNya dengan sungguh-sungguh. Kita akan jadi seperti “anak kecil” yang digendong Yesus itu. Jadi kalau kelak kita mati, kita sudah terbiasa melihat diri kita apa-adanya sehingga tidak terkejut lagi dan menyesali masa lalu kita. Sungguh, tak ada manusia yang sempurna, tetapi alangkah berbahagianya orang yang bisa melihat sendiri ketidak-sempurnaannya lewat matanya sendiri dan berusaha memperbaikinya semaksimal mungkin, karena Tuhan sungguh-sungguh akan tersenyum kepadanya dan tidak akan pernah mempersoalkannya. Ma’afkan kalau saya seperti berkhotbah, sesungguhnya saya hanya ingin mengatakan kenyataan hidup dan berbagi bersama anda tanpa pernah punya niat mau mengajari siapapun karena saya sendiri juga sedang belajar.”
(+) : “Menarik. Terima kasih untuk itu, setidaknya itu lebih masuk akal dan hati saya. Jadi Surgapun bukan tempat pemberhentian terakhir?”
Saya: “Tak ada kata TERAKHIR. Terakhir berarti TAMAT! Bahkan alam semestapun tak ada ujungnya! Maka teruslah maju! Jangan pernah takut, karena pembimbingmu adalah Tuhan Yang Maha Besar, yang selalu menyertaimu sejak semula kamu diciptakan!”
(+) : “Satu lagi, bagaimana dengan penegasan Tuhan bahwa Dia adalah “Alfa dan Omega”, Yang Awal dan Yang Akhir?”
Saya: “Itu artinya adalah, bahwa Tuhan adalah yang mengawali segalaNya dan merupakan batasan paling tinggi dari semua ciptaanNya. Tak akan ada yang mampu melampauiNya. Tetapi Tuhan sendiri tidak akan pernah berakhir pada satu titik, karena kalau Tuhan berakhir, maka semua karyaNya dan seluruh ciptaanNya lambat laun akan berakhir juga; hal itu tak akan pernah terjadi.”
(+) : “Thanks. Saya sekarang jadi bersemangat menjalani hidup ini saat demi saat! Jadi sekarang kita ‘enjoy aja’ ya?” Saya tertawa. Dia menyalami saya dengan gembira dan saya sambut dengan gembira juga.
(-) : ‘??????” (pikiran sesat????)
-SIS 1 2-

No comments: